INDRAMAYU l Radarbangsatv.com -Lembaga survey “LSI” (awal Juli 2024) menjagokan Lucky Hakim sebesar 57%, jauh secara “telak”: di atas Nina Agustina bupati “incumbent” hanya di posisi kedua sebesar 32%, terlebih nama nama lain di bawah 10%.
Sebaliknya lembaga survey “Public Sensum Indonesia” di bulan yang sama, Juli 2024 mengunggulkan Nina Agustina sebesar 51%, jauh secara “telak” pula di atas Lucky Hakim, kompetitor terkuatnya sebesar 27%.
Membaca dua hasil survey di atas dalam teori elektoral jelas hanya gambaran saat “hari itu” survey dilakukan, sama sekali tidak menggambarkan hasil pilkada kelak November 2024, empat bulan ke depan.
Bahkan anehnya kedua survey di atas dilakukan di bulan yang sama (Juli 2024) tetapi hasilnya “jungkir balik” dan berlawanan satu sama lain secara elektoral penting dicermati latar dan motiv ekspose kedua survey tersebut.
Dalam perspektif Prof. Ronnie Higuiti, pakar IT, statistik dan guru besar UI – produk survey hanya “layak dipercaya” jika transparan ke publik dalam lima hal, yaitu sumber dana, sampling responden, methode sampling, pihak yang ambil sampling dan post audit pendanaan.
Terlepas dari hal hal “prinsip” di atas selama ini ekspose hasil survey cenderung “manipulatif” hanya berbicara “elektabilitas” dari sisi “permukaan” tidak menyentuh kedalaman tiga variabel elektoral yang potensial berubah, bahkan menentukan hasil akhir, yaitu :
Pertama, “swing voters”, yakni pemilih yang telah menentukan “pilihan” kepada figur tertentu saat survey dilakukan tetapi pilihannya “rentan” berubah karena hadirnya “calon baru” atau “diterpa” isu yang melemahkan basis trend elektoralnya.
Kedua, “undercided voters”, yakni pemilih yang “belum menentukan” pilihan” saat survey dilakukan. Rata rata dua survey di atas sebesar 24% yang “belum menentukan” pilihan. Akan kemana pilihan mereka pada hari “pencoblosan” menjadi variabel elektoral penting dan menentukan hasil akhir.
Ketiga, hasil survey adalah gambaran 100% seluruh pemilih datang ke TPS. Survey tidak dapat “mendeteksi” berapa persen pemilih yang sudah menentukan pilihan pada “figur tertentu” saat survey dilakukan tapi mereka tidak datang ke TPS.
Di Indramayu dalam setiap pilkada rata rata 30% pemilih tidak datang ke TPS alias tidak menggunakan hak pilihnya, sebuah angka sangat besar, bisa mempengaruhi peta elektoral hasil akhir.
Tiga variabel elektoral di atas itulah penentu akhir peluang menang dalam dinamika elektoral menuju pilkada Indramayu 2024, empat bulan ke depan, November 2024 bukan potret survey “hari ini” saat survey dilakukan.
Dalam konteks itu dalam “skala kabupaten” pilkada Indramayu 2024 dengan variabel mayoritas pemilih “pedesaan” sungguh sangat dinamis trend dinamika elektoral dan terjangkau oleh konsolidasi politik hingga level rumah tangga.
Di sinilah pasangan calon siapa pun kelak sejauh diusung koalisi “mesin” partai dan jaringan politik mapan, wibawa politik kuat dan piawai menggerakkan secara terstruktur, sistematik dan massif berbasis riset dan survey isu isu publik dalam kecepatan “tinggi” potensial akan memenangkan pilkada Indramayu 2024.
Mari kita nikmati prosesnya hingga menjelang pendaftaran ke KPUD 22 Agustus 2024, satu bulan ke depan
Wassalam.
Editor : Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan