Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik elektoral dan sosial keagamaan
RadarbangsaTV.com – Pilkada “serentak nasional” 27 November 2024, beberapa bulan ke depan, potensial terjadi massifikasi praktek politik birokrasi “gentong babi”.
Inilah umumnya cara sejumlah kepala daerah “incumbent” atau “petahana” yang hendak maju kembali untuk ‘mengais-ngais’ elektoral politik.
Di negara negara barat yang “netral agama” tapi mapan tradisi dan sistem demokrasinya pelibatan “mesin” birokrasi dan anggaran publik oleh “incumbent” untuk kepentingan politik elektoral dikecam sebagai tindakan “pork barriel politics”, yakni politik birokrasi “gentong babi”. Jijik dan “najis”.
Itulah konstruksi historis tentang definisi politik birokrasi “gentong babi” setidaknya dalam definisi Anne Duck sebagaimana dikutip Syahrial Hidayat (2021). Rekrutmen kepemimpinan politik “haram” dikotori praktek politik birokrasi “gentong babi” dalam definisi tersebut di atas.
Di Indonesia, negara berdasarkan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” politik “gentong babi” tak jarang lebih “sadis” dari definisi Anne Duck di atas, bukan sekedar APBD “dipolitisasi”, bahkan dana umat pun seperti “Zakat” tak luput dikotori pula dengan muatan politik elektoral.
Ironisnya justru bangga dipamerkan dengan “selfi-selfi” di ruang publik. Inilah cara “binatangisme politik”, mengutip George Orwell, sebuah kebangkrutan moral politik hingga level “asfala safilin”, paling buruk.
Politik harus dimaknai bukan dalam perspektif kumpulan norma-norma hukum tentang pembuktian “benar dan salah” atau “melanggar dan tidak melanggar’ regulasi hukum lebih dari itu sebagaimana diktum politik Imam Al Mawardi dan pemikir politik modern Francis Fukuyama politik adalah “jalan mulia dan beradab”.
Dalam konteks itu kontestasi politik elektoral tak terkecuali pilkada Indramayu 2024 harus dimaknai tidak sekedar kontestasi “elektoral” tapi plus “moral”, tidak sekedar “kuantitatif” tapi plus “kualitatif”, tidak sekedar kemenangan “angka” melainkan plus “etika”, tidak sekedar piawai main “siasat” tapi plus tebar “maslahat”.
Dengan kata lain pemimpin siapa pun kelak terpilih dalam kontestasi pilkada tanpa kualifikasi indeks moral dan etika kecuali dengan nafsu keculasan politik birokrasi “gentong babi”, “primitif”dan tak beradab, bukan sekedar merusak harkat dan martabat pribadi dan jabatan mereka.
Lebih dari itu daya rusak mereka akan mengalir sampai jauh, ibarat “air comberan” mengalir ke pipa pipa ruang publik yang menyesakkan nafas kehidupan mereka.
Mari kita lawan kemaksiatan politik birokrasi “gentong babi” untuk menjaga harkat dan martabat kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang beradab.
Wassalam.
Reporter: Zaseda