Bupati bisa Menang Mudah tapi tidak Sulit Dikalahkan

Indramayu l Radarbangsatv.com – Dalam teori survey “opini publik” seorang bupati (siapa pun dan di mana pun) yang maju kembali dalam kontestasi pilkada bisa menang mudah jika performa dan kinerja sang bupati dalam tingkat “kepuasan publik” tinggi ( 70%), tidak melakukan blunder politik yang menyentuh unsur “SARA” dan memancing reaksi besar publik.

Jika performa bupati sebaliknya, yakni “ugal ugalan” dan birokrasi di bawah pimpinannya tidak berkinerja baik, tidak profesional, “amburadul” dan tidak memuaskan sebagai lembaga layanan publik effeknya adalah “anjloknya” elektoral bupati, tidak sulit dikalahkan oleh siapa pun penantangnya.

Bacaan Lainnya

Itulah “hukum” demokrasi di era rezim elektoral di mana rakyat dengan mudah memberikan “reward and punisment”, memberikan “ganjaran” atau “hukuman” elektoral kepada bupati tergantung “kepuasan” atau tidaknya rakyat atas kepemimpinannya.

Bupati “petahana” atau istilah lain “existing” dan “incumbent” cenderung “bernafsu” menekan habis birokrasi dan “kapitalisasi” anggaran publik untuk instrument memenangkan kontestasi elektoral karena beberapa hal :

Pertama, karena performa dan kinerja bupati di bawah ambang batas 60% tingkat kepuasan publik terlebih apabila dibawah 50%, mau tidak mau, solusi instans yang dipakai adalah instrumen birokrasi dengan resiko pasti merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan netral.

Kedua, birokrasi saat ini hanya “modern” dari sisi struktur management kerja tapi merujuk pendapat sejarawan Ongkhoan dalam bukunya “runtuhnya Hindia Belanda” birokrasi masih dalam “sindrom” mentalitas “pangreh praja” dengan orientasi mengabdi pada personal “raja’.

Inilah faktor “kebobrokan” birokrasi, yakni titik temu kepentingan satu sisi bupati dengan kinerja “anjlok” membutuhkan mesin birokrasi untuk mengkatrol trend elektoral di sisi lain menjadi ajang “cari muka” sejumlah birokrat “culas” untuk deal deal jabatan di luar sistem “meritokrasi” secara profesional.

Dalam perspektif di atas bupati dengan kinerja “anjlok” dan tingkat kepuasan publik “rendah” sekalipun bisa menang dalam kontestasi pilkada dengan “modus” birokrasi “gentong babi” secara habis habisan.

Tapi jurus birokrasi “gentong babi” model apapun yang digunakan seorang bupati dengan tingkat “kepuasan publik” rendah akan kalah dan “tergusur” oleh sang penantang atau “the new comer”, pendatang baru.

Tentu sejauh sang penantang memiliki dua hal, yakni memiliki basis “populisme elektoral’ tinggi dan di back up partai kuat secara ideologis atau partai dengan keterampilan teknokrasi politik yang canggih dan berpengalaman.

Selamat ber kontestasi dalam pilkada serentak Nasional 27 November 2024 secara “mulia dan beradab”

Wassalam

(Zaseda)

Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *