Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik elektoral dan sosial keagamaan
Indramayu l RadarbangsaTV.com – Membaca dan meneropong “hilal” politik PKB dalam konteks Pilkada Indramayu 2024 tentang pasangan calon yang hendak dimunculkan dan spektrum “warna” koalisi pengusungnya ternyata sulit dan lebih “rumit” dibanding meneropong “hilal” 1 Ramadhan atau 1 Syawal, hari lebaran.
Demikian kira kira “anekdot” politik ala NU. Pasalnya ini adalah soal pilihan politik dan politik “dalilnya” tetap merujuk pada “kaidah” Otto Van Bismoch, politisi Jerman abad 19 bahwa “politics is the art off possible”, politik adalan ruang kemungkinan tak bertepi, sulit diduga endingnya.
Problemnya karena H. Dedi Wahidi, anggota DPR RI, tokoh PKB “paling berpengaruh” di Indramayu setidaknya berdasarkan informasi dengan “sanad” valid dan “shohih” 99% “tidak berminat” maju dalam Pilkada Indramayu 2024, hanya tersisa 1% menunggu “keajaiban langit”
Sebaliknya jika beliau maju, maka selesailah urusan “hilal” politik PKB dalam konteks pilkada Indramayu 2024 dan variabel-variabel politik turunannya mudah di orkestrasi. Rekam jejak, pengaruh politik dan pengalaman birokrasi H. Dedi Wahidi “sangat menjual” alias “marketable”.
Itulah problem “hilal” politik PKB Indramayu dalam konteks pilkada Indramayu 2024. Tanpa variabel “tokoh” politik se level H. Dedi Wahidi, cenderung tak terlihat “hilal” ketokohan politik PKB yang lain.
Dalam teori “blocking democtratic politics” A.E. Priyono, seorang ilmuan politik, PKB Indramayu dibaca dari sisi prestasi politik dalam pileg 2024 memiliki posisi politik ideal meng orkestrasi “blok” politik sendiri dengan pilihan spektrum “warna” koalisinya.
PKB Indramayu di bawah kepemimpinan H. Amroni, S.IP dengan raihan 10 kursi DPRD, terbesar dalam sejarah PKB di Indramayu relatif sejajar dengan partai Golkar (14 kursi) dan PDIP (12 kursi) dalam konteks membangun “blok” kepemimpinan koalisi politik dalam pilkada Indramayu 2024.
Di sinilah kemampuan teknokrasi politik PKB Indramayu diuji dalam meletakkan variabel-variabel keunggulan politik di atas dalam ruang-ruang “kompromi maksimal” di antara pilihan “calon” dan spektrum “warna” koalisi dengan “kehendak” mayoritas pemilih untuk mencapai “target” memenangkan Pilkada 2024.
Kemampuan “link and mach” PKB Indramayu dalam mengkonstruksi tiga variabel di atas (seleksi calon dan spektrum warna koalisi dengan trend kecendrungan mayoritas “kehendak” pemilih) akan menentukan makin dekat atau tidaknya jarak tempuh PKB Indramayu menuju “rumah kekuasaan”, yakni “Pendopo”.
Jika kelak target politik ini berhasil menjadi fakta politik tentu tidak perlu “di glorifikasi” dan ditafsir secara implementatif dengan program merubah warna fasilitas publik (kantor kecamatan, Puskesmas dll) dengan warna “hijau” PKB.
Politik merubah rubah “warna” fasilitas publik mengikuti “warna” politik rezim penguasa selain tidak urgen dan “tuna manfaat” dengan ikhtiar menciptakan kesejahteraan umum, juga dalam standart peradaban politik modern cenderung masuk dalam kategori “politik primitif”.
Lalu kapan “hilal” politik PKB Indramayu dapat kita baca tentu kita harus bersabar mengikuti dinamika politik hingga kelak sidang “isbat politik” PKB menentukan pilihan politik dalam proyeksi Pilkada Indramayu 2024.
Wassalam.
Reporter: Zaseda