Indramayu l RadarbangsaTV.com – Kontestasi pilkada Indramayu 2024 harus mampu menjawab “kecemasan” Mendagri, Tito Karnavian tentang kualitas “kepala daerah” (Gubernur, Bupati, Walikota).
Menurut Mendagri konstestasi politik elektoral tak jarang justru menghasilkan “kepala daerah” dengan kapasitas dan kompetensi di bawah “standard”.
Inilah konsekuensi dari sisi “lemah” kontestasi politik elektoral, selalu dominan menjual pesona dan “citra”. Publik “tertipu” rekayasa persepsi publik atau sebaliknya ditekan nafsu kuasa politik “gentong babi” birokrasi, jauh dari preferensi politik bersifat kualitatif.
Dalam konteks itu sangat berasalan “kecemasan” Mendagri di atas bahwa “kepala daerah” produks atau hasil kontestasi politik elektoral tak jarang di bawah standard, kecuali sekedar “menggagah gagahkan” diri di ruang publik.
Tetapi membandingkan kualitas dan kompetensi “kepala daerah” antara “yang dipilih” dan “yang ditunjuk” sebagaimana hendak dilakukan survey dan riset akademik oleh Kemendagri jelas tidak proporsional.
Kepala daerah yang “ditunjuk” (saat ini berjumlah 271 penjabat) betapa pun ia memiliki kompetensi mumpuni tetapi karena jabatan politiknya tidak bersumber langsung dari mandat pilihan rakyat jelas tidak “legitimated”, mudah “diganggu” secara politik.
Dalam konteks itu “cara” menjawab “kecemasan” Mendagri di atas adalah kontestasi pilkada Indramayu 2024 selain harus dilaksanakan dalam prinsip “luber” (langsung, umum, bebas, rahasia) tanpa paksaan oleh siapapun dan instrumen politik apapun.
Tetapi juga harus dimaknai tidak sekedar kontestasi “elektoral” tapi plus “moral”, tidak sekedar “kuantitatif” tapi plus “kualitatif, tidak sekedar kemenangan “angka” tapi plus “etika”, tidak sekedar piawai main “siasat” tapi plus tebar “maslahat”.
Di sinilah pentingnya kedaulatan rakyat pemilih harus mendidik diri setidaknya simpul simpul tokoh publik memberi “pencerahan” kepada rakyat pemilih bahwa memilih bupati adalah menitipkan harapan dan nasib mereka untuk lima tahun ke depan.
Dua juta rakyat Indramayu dengan segala varian pikiran, hati dan rasa yang bertumbuh dalam diri mereka harus dihindarkan dari tipuan rekayasa persepsi “citra” calon bupati atau rekayasa politik lainnya seolah olah memilih bupati hanyalah urusan popularitas dan elektabilitas bersifat “recehan”.
Terlalu mahal ongkos yang ditanggung dua juta rakyat Indramayu hanya dipimpin oleh bupati hasil tipuan “pencitraan” artifisial, miskin visi, defisit narasi dan “show of force” arogansi.
IItulah cara menjawab “kecemasan” Mendagri di atas dalam konteks kontestasi pilkada Indramayu 2024 bahwa memilih bupati adalah memilih pemimpin jalan penuntun masa depan harus dibaca rekam jejak dan pengalaman kualitatif kepemimpinannya.
Memang tidak mudah melahirkan bupati dalam standar kualitatif di atas tapi itulah jalan peradaban politik yang harus ditempuh bersama agar “keadaban” politik kita “naik kelas”, tidak sekedar “gebyar” lalu “ambyar”.
Wassalam.
Editor: Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan