Indramayu | RadarBangsaTV.com – Penulis buka pengantar singkat bedah buku “Dari Dokumen Ke Monumen” karya Supali Kasim dengan kutipan “puisi” sebagai berikut :
Bukan jubah dan tunggangan yang membuatmu bertaji
Tapi sikap dan ajaranmu yang bermakna
Bukan dari kemewahan dunia yang kau perlihatkan
Tapi keteguhanmu melawan arus
Sementara yang lain lagak bergaya seolah hebat
Justru dirimu tafakur dalam kesunyian
Jika yang lain butuh pengakuan dan eksistensi
Justru darimu lah kita beroleh makna kehidupan
Puisi di atas ditulis Ari Djunaedi, ahli komunikasi politik dan Redaktur harian “Kompas”, sengaja penulis kutip sebagai cara “memadatkan” kesimpulan atas kumpulan esai esai Supali Kasim yang didokumentasikan dalam buku “Dari Dokumen Ke Monumen”.
Penulis “penganut” Madzhab penyair Rusia, Joseph Brodsky. Ia begitu percaya dengan “kepadatan” makna sebuah puisi.
“Pada periode periode tertentu dalam sejarah hanya puisi yang mampu “memadatkan” kenyataan menjadi sesuatu yang bisa digenggam dengan padat, tersimpan dalam pikiran, sulit dilakukan diluar cara puisi”, tulis Josep Brodsky
Buku “Dari Dokumen Ke Monumen” ini secara metaforis adalah cermin “jalan sunyi” kebudayaan Supali Kasim, penulisnya, sebuah kumpulan esai esai pilihan dalam bentangan waktu sangat panjang (1993 – 2024). Inilah konsistensi Supali Kasim di jalan “kebudayaan” yang sunyi
Buku ini layak dibaca bukan sekedar mengajak kita membaca “Dokumen” dan menengok “Monument” tapi menyegarkan kembali jalan “kebudayaan”, jalan moralitas penuntun agar pragmatisme politik kekinian tidak “miskin adab”.
Membaca ulang esai esai dalam “Dokumen” buku ini misalnya esai berjudul “Berdiri persimpangan jalan”, “Humor Itu Di atas Serius” dan “Kesenian, Kemiskinan Dan Kekuasaan” adalah cara “liris” seorang “budayawan” Supali Kasim menggugat realitas sosial, pendangkalan ruang rohani dan “materialisasi” dimensi spritual.
Trend dan kecenderungan sosial masyarakat kita merujuk hasil penelitian “Boston Consulting Group” (2017) antara lain “no gadget no life” (hidup tanpa hape, mati gaya), gampang bosan, instans, hobi jalan pintas dan dalam konteks politik bersifat “selebritas” nir-kapasitas. Popularitas dan elektabilitas nir- integritas.
Demokrasi dalam konstruksi Francis Fukuyama sebagai “jalan politik mulia dan beradab” dalam proses sirkulasi kekuasaan politik tanpa “perlawanan” jalan kebudayaan dan hanya disandarkan pada “aturan” dan “rekayasa” yang disesuaikan dengan syahwat politik penguasa akan jatuh di bawah level “ambang batas” kepatutan publik.
Jalan kebudayaan yang ditempuh begitu panjang oleh Supali Kasim dalam bentuk literasi esai esai dalam “Dokumen” buku ini harus dimaknai (betapa pun sunyi) sebagai cara akal sehat publik untuk selalu menemukan jalan takdirnya sendiri melawan pendangkalan spiritualitas politik dan “glamorisasi” budaya pop.
Itulah yang dimaksud Romo Mudji Sutrisno, budayawan, guru besar STF Driyarkara Jakarta bahwa jalan kebudayaan adalah “ikhtiar mengkonstruksi perasaan dan struktur mentalitas untuk menghayati kehidupan sebagai tata acuan nilai nilai hidup perjalanan bermartabat”, tulisnya (koran Sindo, 2013).
Dalam konteks inilah apresiasi penulis atas terbitnya buku ini, sebuah sumbangsih “nutrisi” spritual di tengah trend praktis politik dan budaya sosial yang mengingkari ambang batas kepantasan publik dan mewariskan perilaku sosial politik yang mengangkangi hukum secara culas.
Meskipun tentu tidak cukup hanya sekali prakarsa dan inisiatif untuk menghidupkan diskusi literasi kebudayaan publik tetapi acara “bedah buku” ini bisa menjadi jalan pembuka dalam merawat daya tahan dan “imun” publik setidaknya “check and balance” terhadap proses pendangkalan literasi rohaniyah dan “glamonisasi politik.
Wassalam.
Editor: Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan/ketua Forum Sastra Indramayu (1994)