Radarbangsatv.com l MOJOKERTO – Sejarawan J Noorduyn, berdasarkan Negarakertagama menuliskan, lapangan Bubat terletak di sebelah utara lingkungan Istana Majapahit. Lapangan besar yang dipakai untuk acara-acara besar tahunan. Ada sebuah jalan raya (rajamarga) melewati Bubat ke selatan ke arah istana.
“Sebelah barat kolam Segaran di situ ada nama dusun Bubat,” kata Supriyadi, penggiat sejarah Majapahit, yang tinggal di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Sampai sekarang belum ada yang tahu lokasi pertempuran dua kerajaan besar di Pulau Jawa itu.
“Bubat menjadi misteri yang belum juga terpecahkan,” ujar Supriyadi.
Menurut analisis Tjahja Tribinuka
Penggiat sejarah Majapahit menyatakan, konon lokasi Lapangan Bubat adalah di pinggiran “Kanal Majapahit” yang juga masih merupakan misteri.
Indikasi awal, setidaknya, lokasi kanal berdekatan dengan Situs Tribhuwana Tunggadewi di Klintererejo. Di dekatnya ditemukan bekas struktur yang diduga merupakan bekas dermaga.
Di Negarakertagama diceritakan, Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas dan Raja Hayam Wuruk, pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Arkeolog Universitas Indonesia
Seperti dilansir dari Okezone.com Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar (Aan), menuliskan, Lapangan Bubat, kini berada di Desa Tempuran.
Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi lokasi bertempurnya pasukan-pasukan zaman dulu.
Bubat bisa jadi berasal dari kata “Butbat” yang berarti jalan yang lega dan lapang.
Perang Bubat, membawa penulisnya, Aan Merdeka Permana, sampai ke Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Ia tidak begitu saja percaya dengan apa yang dituturkan Kidung Sun-dayana tentang Bubat.
Tahun 1999, Aan menelusuri Trowulan untuk menemukan Bubat, tempat yang santer disebut-sebut sebagai awal ketegangan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit.
Meski berada di bekas pusat kerajaan Majapahit, tidak semua orang Trowulan tahu dengan Bubat. Tidak semua orang di sana tahu Bubat itu berlokasi.
Berdasarkan informasi dari warga setempat pula, Aan menemukan tempat yang diduga sebagai Bubat.
Bubat bukanlah nama sebuah wilajah administrasi desa atau kelurahan.
Masyarakat menunjuk Bubat sebagai sebuah tegalan, yang pada saat itu sedang ditumbuhi tanaman kacang.
Luasnya kira-kira seluas lapangan sepak bola, tetapi bentuknya tidak beraturan.
Nama Bubat, hanya diabadikan menjadi nama salah satu gang di sana.
Letaknya tidak jauh dari Trowulan. Dengan akses jalan raya Surabaya-Mojokerto.
Tempat itu bisa dijangkau tidak lebih dari setengah jam saja. Dulu perjalanan bisa memakan waktu dua hari. Karena jalannya masih harus memutar, tidak seperti sekarang.
Pada peristiwa perang Bubat, tidak ada bukti arkeologi. Hingga saat ini, tak ada satupun benda peninggalan perang yang ditemukan.
Peristiwa menyedihkan itu ditulis dalam naskah-naskah kuno Sunda yang ditulis dua abad kemudian. Naskah-naskah itu antara lain, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Sejarahwan Zoetmulder (1974 -1985)
Zoetmulder berpendapat, kisah itu terdapat pula dalam Kidung Sunda naskah Bali (I Gusti Ngurah Bagus 1991).
Menurutnya, tempat yang banyak disebut-sebut dalam naskah kuno Sunda itu mungkin bukan terletak di Trowulan.
Berdasarkan hasil foto udara dan ekskavasi situs menunjukkan, Trowulan, pusat kerajaan Majapahit, memiliki banyak parit.
Maka mungkin Prabu Hayam Wuruk kesulitan datang ke lapangan Bubat untuk menghadiri upacara keagamaan dan kenegaraan dengan mengendarai kereta yang ditarik enam ekor kuda, seperti diceritakan dalam naskah Negarakretagama.
Naskah yang berhasil diselamatkan saat terjadi Perang Lombok pada 1894 itu tidak menyebutkan di mana letak Bubat.
Meski demikian, terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bernard H.M. Vlekke
Guru Besar Universitas Leiden Belanda, penulis buku Nusantara Sejarah Indonesia Bernard H.M. Vlekke menyebutkan, bahwa lokasi Bubat diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu kota Majapahit.
Di lapangan besar itu, rombongan Raja Sunda berkemah dengan pasukan pengawalnya. Lapangan Bubat biasa digunakan bangsawan Majapahit untuk berburu atau mengadakan turnamen.
Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Majapahit Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada.
Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Gajah Mada, melawan sekelompok kecil pasukan dari Kerajaan Sunda (Padjajaran) pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di lapangan Bubat pada abad ke 14 sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang tidak seimbang itu dimenangkan Kerajaan Majapahit.
Pasukan Kerajaan Sunda dibantai habis, termasuk komandan perangnya yang juga Raja kerajaan Sunda Prabu Maharaja Linggabuana.
Putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang sedianya akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk, bunuh diri setelah meratapi kematian sang ayah di medan perang Bubat. (Tim RB TV/foto: Disparpora.mojokerto.go.id)