Indramayu l RadarbangsaTV.com – Meskipun hari hari ini bingkai isu dominan ke isu politik di “musim pilkada” tiba, penulis sungguh “tergelitik” menulis tentang pesantren “Darul Ma’arif” Kaplongan Indramayu ini, “terpantik”‘ testimoni seorang “pengusaha” Jakarta, putra asli Indramayu (Lohbener/Celeng) saat bertemu di acara “tahlilan” 3 tahun wafat ibundanya beberapa waktu lalu.
Beliau dalam acara “tahlilan” di atas bercerita bahwa baru saja berkunjung ke pesantren “Darul Ma’arif”- sering pula disebut “kampus hijau”, terkesan dan bangga bahwa di Indramayu, daerah di mana “ia dilahirkan dan tumbuh” terdapat pesantren NU sangat representatif bagi kebutuhan warga NU “kelas menengah modern”.
Tentu penulis dalam konteks tulisan singkat ini tidak akan menggambarkan pesantren “Darul Ma’arif” Kaplongan yang dipimpin atau dalam”pengasuhan” H. Dedi Wahidi, anggota F PKB DPR RI dari sisi infrastruktur fisik dan modernitas sistem tata kelolanya.
Selain “sekelas” Presiden Jokowi saat dua kali berkunjung ke pesantren “Darul Ma’arif” ini mengakui sangat tertata rapi atau dalam istilah milenial disebut “fotogenic”, yakni tampilan potret yang menyenangkan dan “good looking”, juga penulis telah berkali kali menulis sisi ini di beragam media.
Hal menarik dan justru penulis “tergelitik” menulisnya dari sudut pandang apa yang disampaikan seorang “pengusaha” di atas bahwa pesantren “Darul Ma’arif” ini representatif menjawab kebutuhan warga NU “kelas menengah modern”.
Itulah yang sering luput dibaca, dianalisis dan dikonstruksi bahkan termasuk oleh sejumlah elite NU sendiri baik struktural maupun kultural.
Dalam teori sosial Profesor Dr. Nurcholish Madjid (sering disapa “Cak Nur”) dalam konteks ke-Indonesia-an modern warga NU mengalami proses “mobilitas vertikal” pasca kebijakan Presiden Soeharto tahun 70 an tentang “SD Inpres” masuk “desa” di susul keputusan PBNU tahun 1984 NU “kembali ke khittah”, tidak menjadi bagian organik partai politik.
Dua variabel “kebijakan” di atas “memaksa” warga NU masuk ke sekolah sekolah modern hingga generasi mereka mengalami “mobilitas vertikal” naik ke atas secara sosial menjadi warga NU “kelas menengah modern”.
Mereka tidak lagi dalam lingkungan kerja tradisional seperti pertanian, buruh tani, pedagang dan lain lain melainkan “diversifikasi”, mengalami “perluasan” masuk ke lingkungan dunia “baru” seperti menjadi dosen, peneliti, aktivis sosial, politisi, perbankan dan ragam pekerjaan “modern” lain.
Anak-anak mereka inilah warga NU “kelas menengah modern” generasi kedua tidak lagi “sublimatif”, tidak mengenal “ekosistem” sosial NU secara mendalam sebagaimana orang tua mereka. Tantangan modernitas sosial menjauhkan mereka dari ekosistem sosial NU kecuali tradisi “lahiriyah” nya saja seperti “tahlilan”, ziarah kubur, dan lain lain.
Affirmasinya dalam konteks Jawa Barat dapat kita baca dalam temuan survey LIPI (2018) bahwa meskipun mayoritas muslim di Jawa Barat adalah warga NU (78%) dari sisi tradisi keagamaannya seperti “tahlilan”, ziarah kubur, “shalawatan” tapi hanya 7 % yang mengikatkan diri sebagai anggota “jam’iyah”‘NU.
Itulah sebabnya di Jawa Barat NU sangat “longgar” sehingga warga NU “kelas menengah modern” mudah dan tertarik masuk ke sekolah sekolah Islam modern “non NU” dengan fasilitas representatif, sistem dan methodologi modern. “Selera” pendidikan anak anak keluarga NU hari ini sudah jauh berbeda kebutuhannya dengan apa yang dialami orang tua mereka dulu.
Dalam perspektif itulah penulis membaca “kebanggaan” seorang pengusaha di atas tentang pesantren “Darul Ma’arif” kaplongan Indramayu, tidak perlu “dikontraskan” dengan pesantren pesantren NU “tradisional” lainnya, sama sama berkhidmat untuk “kebesaran” NU.
Di situ lah kekuatan epicentrum NU di masa depan, tidak dapat diserahkan kepada calon Bupati siapa pun karena mereka ibarat “jauh panggang dari api”, tidak akan mengerti soal ini, kecuali sekedar “meng NU NU kan diri di musim pilkada tiba.
Wassalam.
Editor : Zas
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan