Indramayu l RadarBangsaTV.com – Meminjam teori Bend Bland tentang “kontradiksi” dan “paradoks” politik dalam bukunya berjudul “Man Of Contradiction”, tulisan ini hendak membaca ulang “kontradiksi” dan “paradoks” tentang Indramayu dalam dinamika politik kekinian.
Potret “paradoksnya” satu sisi bupati Nina Agustina begitu “berlimpah” mendapatkan penghargaan di sisi lain indeks kemiskinan di Indramayu “diganjar”‘ tertinggi dari seluruh kab/kota di Jawa barat (11,7%) hingga Maret 2024 berdasarkan “databoks” BPS Jawa Barat.
Indramayu secara demografis mayoritas petani, daerah lumbung padi “terbesar” secara nasional dan bupati dua kali mendapatkan “penghargaan” di bidang pertanian (2022) tapi justru tingkat kemiskinan penduduknya tertinggi di Jawa Barat. Inilah potret “paradoksnya”.
Problem kemiskinan di mana pun tak terkecuali di Indramayu tidak boleh hanya dipandang soal angka “statistik” dan tidak boleh ditukar tambah dengan piagam “penghargaan” lalu “selfi selfi” pamer dengan gaya “narsis” di ruang publik dan media sosial.
Problem kemiskinan adalah “hulu” dari seluruh problem peradaban bangsa karena indeks pendidikan dan kesehatan berkait dan bertali temali dengan akar problem kemiskinan rakyat. Singkatnya rakyat miskin dan tak berdaya, IPM pun “tersungkur” nyata.
Di era rezim politik elektoral persoalan “angka” kemiskinan memang begitu mudah menjadi angka politis, naik dan turun tergantung cara “mensiasati” parameter dan sudut pandang yang paling menguntungkan bagi pencitraan politik.
Bagi bagi “bantuan” dan berpura pura “dermawan” padahal yang dibagikan justru dana rakyat (APBD) untuk “mengecilkan” angka kemiskinan dari garis batas kategori miskin bukan solusi akar masalah kecuali dalam keadaan “darurat yang memaksa”.
Di sinilah pentingnya posisi politik seorang bupati sebagai pimpinan eksekutif tertinggi di kabupaten Indramayu yang dipilih dan diberi mandat politik oleh rakyat untuk mendesain peta jalan desain pengentasan kemiskinan secara utuh dari hulu ke hilir.
Dalam konteks inilah pilkada Indramayu 2024 harus diarahkan ke level adu gagasan “antar calon” bagaimana solusi dan “roadmap” kebijakan yang hendak dikonstruksikan secara terukur untuk mengatasi tingkat kemiskinan di Indramayu.
Para tokoh publik lintas agama, lintas profesi dan lain lain harus “turun tangan” membimbing rakyat untuk “tidak memilih” sekedar popularitas atau tekanan intimidatif, tidak memilih calon bupati “ala kadar”nya, miskin pengalaman dan defisit kompetensi.
Terlalu mahal “ongkos” pilkada yang ditanggung dari pajak rakyat hanya untuk melahirkan seorang bupati “ala kadarnya”, sekedar berjualan “baliho” di pinggir pinggir jalan.
Terlalu besar energy rakyat terkuras oleh kebisingan pilkada hanya untuk melahirkan seorang bupati tidak mengerti “banyu” dan “lumpur” musim rendeng dan sadon, tidak berkeringat panjang di “kedalaman” batin Indramayu.
Ke sanalah pilkada Indramayu 2024 digerakkan demi “legacy” bagi masa depan anak cucu kelak di kemudian hari . Itulah kekuatan “amal jariyah” politik, kata Ibnu Khaldun, Sosiolog muslim legendaris.
Wassalam.
Editor : Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan