Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
Indramayu l Radarbangsatv.com – Koalisi Indramayu Maju (KIM), yakni partai Golkar, Gerindra dan demokrat (22 kursi, 44%) – resmi deklarasi di hotel Trisula Indramayu (15/5/2024) – potensial berhadapan versus Nina Agustina (PDIP) dalam kontestasi pilkada Indramayu 2024 dibaca dalam konstruksi beberapa variabel politik, yaitu :
Pertama, penegasan Hasto Kristyanto sekjend PDIP bahwa PDIP mengambil jalan oposisi politik terhadap pemerintahan Prabowo Gibran dan “balasan” Prabowo bahwa pemerintahan yg dipimpinnya “jangan diganggu” membuka ruang implikasi politik dalam proyeksi pilkada serentak 2024 tak terkecuali di Indramayu.
Dalam konteks ini bacaan politiknya bukan sekedar Koalisi Indramayu Maju hendak mewarisi elektoral “Koalisi Indonesia Maju” (KIM) atau 02 yang memenangkan “telak” pasangan Prabowo Gibran di Indramayu sebesar 70,10% dalam pilpres 2024
Tapi aliansi faksi politik baru antara Jokowi dan Prabowo versus PDIP di level pusat bisa menjadi “sumbu” politik penghadapan Koalisi Indramayu Maju versus Nina Agustina (PDIP) level pilkada Indramayu 2024
Kedua, dalam konstruksi politik di atas penulis tidak setuju dengan pandangan seolah olah “Koalisi Indramayu Maju” hanya “dolanan” atau “political game” bersifat lokal, sebuah pandangan “awam” tentang relasi hirarkhis struktural partai dalam khazanah kepartaian di Indonesia.
Deklarasi Koalisi Indramayu Maju di atas dalam perspektif penulis sangat “serius” hingga “berani” ke level penanda tanganan resmi “piagam koalisi”. Tanpa konsultasi politik vertikal ke level DPP partai masing masing akan berujung “pembekuan” struktur partai di level daerah tersebut. Lumrah.
Dalam konstruksi politik inilah penulis membaca peta politik di Indramayu akan mengikuti irama koalisi politik di level atas. Di sinilah problem birokrasi yang “genit” ikut ikutan bermain dalam kontestasi elektoral politik.
Birokrasi yang selama ini cenderung mengikuti irama permainan elektoral penguasa “lokal” kali ini kemungkinan berbeda dengan kepentingan penguasa birokrasi di level “pusat”, tentu ini “ngeri ngeri sedap”.
Kemampuan Koalisi Indramayu Maju menghadirkan pasangan calon yang “akseptabel” dengan trend mayoritas perilaku pemilih di satu sisi dan kemampuan teknokrasi politik dengan kepentingan “pusat” di sisi lain akan sangat merepotkan peluang Nina Agustina bisa terpilih kembali dalam pilkada Indramayu 2024.
Lalu bagaimana peluang koalisi PKB di antara dua poros koalisi politik di atas di mana Lucky Hakim salah satu kandidat bupati dengan “populisme elektoral” tinggi ikut mendaftar ke PKB hingga “diintai” ke gang gang sempit?
Atau justru H. Dedi Wahidi, politisi “senior” PKB hadir dengan aliansi taktis bersama Lucky Hakim dalam peta baru pilkada Indramayu 2024?
Mari kita tunggu dinamika politik berikutnya karena politik seperti diktum Otto Van Bismoch adalah “ruang kemungkinan”, sulit diduga ujung akhir permainanannya kecuali hanya bisa dinikmati prosesnya.
Wassalam !!!
(Zaseda)