Indramayu l Radarbangsatv.com – Indramayu “bermartabat” dalam konteks pilkada 2024 adalah menjaga martabat pilkada Indramayu 2024, yakni meletakkan pilkada sebagai cara negara memberikan jalan “kebahagiaan batin” bagi warganya untuk bebas dari intimidasi dalam memilih pemimpinnya.
Itulah pilkada “bermartabat”. Birokrasi netral tidak merusak “kemuliaan” pilkada, para kontestan pilkada tidak curang, penyelenggara jujur dan adil, para pemuka agama dan kaum intelektual partisipatif mengawasi dan menjaga “kemuliaan” pilkada.
Tahun 1955 pemilu pertama di Indonesia saat kemiskinan penduduk di angka 62% dan rakyat “buta huruf” 78% pemilu dilaksanakan berjalan secara “bermartabat”, yakni pemilu berjalan “luber” dan “Adil’.
Herbiet Piet, ilmuan politik Australia yang diperbantukan sebagai “konsultan” pemilu 1955 menyebutnya pemilu paling “membahagiakan” batin, tidak dikotori politik uang dan intimidasi instrument negara.
Pertanyaannya kenapa pemilu tahun 1955 dengan tingkat kemiskinan dan “buta huruf” penduduknya sangat tinggi berhasil melaksanakan pemilu secara bermartabat ?
Dengan kata lain, jika pemilu 1955 dengan tingkat kemiskinan dan “buta huruf” begitu tinggi mampu melaksanakan pemilu secara bermartabat
Mampukah kita hari ini dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan lebih baik mengawal pilkada Indramayu 2024 secara “bermartabat”?
Pilkada sebagai sub sistem demokrasi di negara kita diatur dalam prinsip “luber” (langsung umum bebas rahasia) tanpa tekanan oleh dan atas nama institusi apapun dan dilaksanakan dalam prinsip “jurdil” (jujur dan adil”).
Demokrasi dalam kontestasi pilkada adalah tentang pelaksanaan hak hak politik sipil warga, tentang nilai nilai kejujuran dan keadilan dan tentang jalan “kebahagiaan batin” warga dalam memilih pemimpinnya bukan sekedar “teknis memilih”.
Dalam teori sosial bernegara imam Al Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” memberikan gambaran tentang teori Piramida sosial bahwa “rakyat” rusak karena pemimpinnya “rusak” dan pemimpin “rusak” karena “ulamanya” rusak.
Pengertian “ulama” di atas dalam teori ilmu sosial Harry Julian Benda adalah para pemuka agama, kaum intelektual, aktivis pro demokrasi dan “kelas menengah” sosial ekonomi.
Mereka inilah kelompok sosial penjaga nilai nilai demokrasi. Bila kelompok sosial ini “rusak” maka pemimpinnya akan “rusak” dan implikasi sosialnya pasti rakyat “lumpuh”, kecipratan daya rusaknya.
Karena itu seberapa tinggi kita “me martabat kan” pilkada sangat tergantung perilaku pemimpin dan kemampuan “ulama”, kaum intelektual dan aktivis pro demokrasi mengawasi setiap tahapan pilkada berjalan jujur dan adil.
Pilkada tidak bermartabat alias berlangsung curang bahkan dengan cara terang terangan hanya akan menghasilkan pemimpin curang, hulu dari segala “sumber” kerusakan ruang publik.
Tugas kita bersama untuk mencegahnya karena pilkada adalah “jalan politik mulia dan beradab” bukan jalan nafsu “binatangisme politik” yang biadab.
Wassalam.
Editor : Zas
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan