Indramayu l RadarBangsaTV.com –
Bupati dan pemimpin adalah dua hal yang dapat dibedakan dalam definisi secara kategoris meskipun secara “atributif”, yakni dari sisi sifat dan “personality” bupati dan pemimpin bisa menyatu dalam satu sosok figur.
Pilkada Indramayu 2024 pasti melahirkan seorang “penguasa” politik, disebut dengan jabatan “bupati”, tapi apakah bupati bisa sekaligus menjadi pemimpin bagi rakyatnya? Itulah problemnya.
Bupati adalah jabatan politik yang dipilih dalam seleksi elektoral publik sementara pemimpin salah satunya menurut Michael H. Hart, adalah “influential person”, seorang figur dengan pengaruh kuat secara sosial.
Bupati memiliki power diskresi dan kewenangan yang diberikan undang undang untuk mengatur, bertindak dan bisa melakukan apapun yang tidak dilarang regulasi perundang undangan.
Misalnya mengecat gedung gedung fasilitas publik (Kantor kecamatan dll) sesukanya atau memindah mindahkan pejabat dengan “selera sendiri” di luar sistem “meritokrasi” secara profesional.
Itu adalah tindakan sah bagi seorang bupati sebagai “penguasa” politik. Ia hanya menyandarkan tindakan politiknya pada aturan “boleh” atau “tidak boleh” menurut aturan undang undang bahkan tak jarang undang undang “disiasati” dan dicarikan celah modusnya.
Tetapi “bupati” sekaligus pemimpin meletakkan tindakan politiknya bukan sekedar pada level “boleh” atau “tidak boleh” menurut undang undang melainkan pada ambang batas “kepatutan” dan “maslahat” publik.
Itulah yang disebut Imam Al Mawardi dalam kitabnya “Al Hakam Al Sulthoniyah” dengan prinsip moral kepemimpinan politik, yakni “tashorruful imam ala Al roiyah manutun bil maslahah”.
Artinya, tindakan pemimpin termasuk tentunya seorang bupati terikat dengan nilai “kepantasan” publik dan kepentingan “maslahat” rakyat yang dipimpinnya, bukan diletakkan pada keuntungan politik penguasa.
Dalam kerangka “maslahat” itu pula Francis Fukuyama, seorang ilmuan politik modern mendefinisikan politik adalah “jalan mulia dan beradab” karena dua hal.
Yakni pertama pemilu sebagai sistem politik harus dilaksanakan dalam prinsip “jurdil” dan “beradab” dan kedua untuk menghasilkan pejabat dalam kategori pemimpin politik dengan nilai moralitas maslahat dalam kepemimpinannya.
Dalam konstruksi paparan singkat di atas itulah kita dapat mengukur kualitas kepemimpinan seorang bupati. Kualitas peradaban politik kita tergantung kualitas dan kearifan “cara” kita memilih bupati dengan “kadar” kualitas kepemimpinannya.
Dengan kata lain, kepemimpinan politik di Indramayu “hari esok” harus diarahkan pada pilihan yang lebih baik secara kualitatif. Itulah pesan moral kenabian, sebuah pesan moral yang mencerminkan seberapa tinggi moralitas peradaban politik kita.
Wassalam.
Editor : Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan