Memahami NU Gus Baha, Menghindarkan Politik Identitas NU

Oleh. : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Radarbangsatv.com – Memahami NU model Gus Baha adalah cara menghindarkan NU menjadi instrument politik identitas “ke NU an” yang eksklusif secara organik dan segmented secara sosial.

Bacaan Lainnya

Dalam hal “furu’iyah” agama, misalnya, soal “qunut” dalam shalat shubuh tidak ditarik Gus Baha pada persoalan identitas ormas.dengan kategori yang “qunut” adalah identitas NU dan yang tidak “qunut” adalah Muhammadiyah atau ormas lainnya.

“Memangnya Imam Syafie yang menghukumi “sunnah’ untuk “qunut” di sholat subuh punya kartu tanda anggota NU atau Imam Hanafi yang tidak menghukumi “sunnah” disebut “kader” muhamadiyah”, demikian seloroh Gus Baha.

Cara pandang “meng ormas kan” perbedaan “furu’iyah” di atas menurut Gus Baha mudah ditarik secara “konfliktual” untuk penguatan identitas politik kelompok dan potensial “mengeras” dalam kontestasi politik elektoral.

Inilah bahayanya perbedaan “furu’iyah” agama ditarik “paksa” untuk kepentingan politik elektoral hingga muncul ujaran kebencian misalnya “kadrun” versus “kampret”, menjijikkan.

Gus Dur dulu tahun 1980 an pernah mengundang A.R. Fahrudin Ketua Umum Muhammadiyah untuk menjadi imam “tarawih” di pesantren “Tebuireng”, pusat NU tentu dengan bilangan 20 rakaat tarawih plus tiga rakaat shalat witir.

Gus Dur begitu “entengnya” menghadirkan ketua umum Muhammadiyah tersebut untuk menegaskan soal “furuiyah” tidak menjadi “pembeda” dalam relasi sosial. Perbedaan madzhab keagamaan, tidak ditarik “keras” ke relasi konflik antar ormas.

Dalam konstruksi itulah memahami NU model Gus Baha di atas dan jauh sebelumnya telah dilakukan Gus Dur harus dimaknai bahwa penarikan perbedaan “furu’iyah” harus diletakkan secara proposional bukan alat dan instrument politis untuk penegasan perbedaan dukungan elektoral.

Dengan kata lain memahami NU sekedar pada level atribut atribut “organik” lahiriyah dan fanatisme” ekslusif terhadap “furuiyah” agama sebagai identitas sosial “ke NU an” maka NU bukan saja potensial gagal menjadi rujukan “arah kiblat” bangsa dan solusi jalan baru peradaban,

Lebih dari itu, NU akan mudah jatuh pada apa yang diisyaratkan Al Qur an, yakni menjadi bagian dari “kelompok pemecah belah agama, lalu menjadi golongan golongan, masing masing golongan hanya membangga banggakan secara fanatik golongannya sendiri” (Q.S. Al Rum : 32).

Maka kembali ke “khittah” NU tidak basa basi politik adalah jalan peradaban bagi NU bahwa “berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional dan adil”, demikian bunyi point’ ke 5 dari “9 pedoman berpolitik bagi warga NU” (hasil Muktamar NU ke 27 tahun 1984).

Wassalam

(ZASEDA)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *