Indramayu l Radarbangsatv.com – Pertanyaan “Apakah bapak/ibu/saudara ingin ada perubahan dalam pembangunan kabupaten Indramayu ke depan?” – sebesar 90,1% “ingin ada perubahan”, 4,4% “tidak ingin ada perubahan” dan 5,7% menjawab “tidak tahu/tidak jawab”.
Itulah hasil survey lembaga survey “Poltracking” (Akhir Mei 2024) yang diupload Carkaya, aktivis politik Indramayu di akun media sosial “Facebook” (26/5/2024).
Dalam teori survey “opini publik” hasil survey di atas dalam konteks pilkada Indramayu 2024 tidak salah, bahkan relevan jika dimaknai mengirim pesan bahwa “mayoritas mutlak” (90%) publik Indramayu “ingin ganti bupati”.
Dengan kata lain kampanye “rong porod” (dua periode) hanyalah “keinginan baligho” yang sumpek di ruang publik, tidak memiliki akar legitimasi sosiologis yang kuat dalam hasil survey di atas.
Argumennya sangat “simpel”, yakni tidak mungkin perubahan pembangunan di Indramayu terjadi kecuali “ganti bupati”, pucuk pimpinan pengendali pembangunan, titik pangkal terjadinya perubahan pembangunan di kabupaten Indramayu.
Dalam konteks lebih luas hasil survey di atas tidak sekedar mengirim pesan “ganti bupati” dalam konteks pilkada 2024 melainkan mengirim pesan mendasar tentang urgensi kepemimpinan bupati dalam konstruksi sistem “demokrasi”.
Bupati dalam sistem “demokrasi” adalah “elected leader”, yakni pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme pilkada, sebuah representasi mandat suara rakyat dan Legitimated secara politik.
Resonansi politiknya adalah seorang bupati tidak legitimated mengeksekusi kebijakan hanya bersandar pada “boleh atau tidak boleh” menurut peraturan, tidak sekedar sesuai dengan ruang diskresi dan kewenangannya.
Tapi harus diletakkan dalam apa yang disebut dalam “kaidah fiqih politik”, yaitu “tashorruful imam ‘ala roiyah manutun bil maslahah”, seberapa besar dampak “maslahat” kebijakan pemimpin (bupati) yang dipilih rakyat terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Itulah yang disebut dalam teori demokrasi modern Willem Liddle bahwa legitimasi pemimpin yang dipilih tidak terletak pada kekuatan “mobilisasi” melainkan menumbuhkan “partisipasi”.
Artinya kekuatan pemimpin yang dipilih bukan mendesakkan mobilisasi “selera” nya sendiri untuk diterima publik melainkan pada kemampuan mengartikulasikan “partisipasi” aspirasi publik dalam diskresi kebijakannya.
Sehingga prestasi dan “penghargaan” apapun yang diterima baik atas nama pemerintahan dibawah kepemimpinannya atau karena kinerja seorang pemimpin adalah “cermin” dari tingkat kepuasaan publik terhadap kepemimpinannya.
Anehnya telah begitu banyak prestasi dan penghargaan diterima bupati tapi publik Indramayu menurut hasil survey “Poltracking” di atas mayoritas mutlak (90%) justru menghendaki adanya “Perubahan pembangunan kabupaten Indramayu”.
Ada apa sesungguhnya dengan “kedalaman rasa” mayoritas publik Indramayu yang dipotret dalam survey di atas?
Wassalam
Editor: Zas
0leh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan