Indramayu | RadarBangsaTV.com – O’ushj Dialambaqa, intelektual “oposisional” lintas rezim politik Indramayu menyebut Nina Agustina bupati “Asbun” bukan sekedar “asal bunyi” tapi menurutnya “asal nyeplak” dan menudingnya “Marcivilian”, menghalalkan “segala cara” dalam memenangkan “rong porod” (dua periode).
Hal itu dapat dibaca dari dua tulisannya, yaitu berjudul “Bupati , Marcivilian politics, Orgerilian politics, Post truth politics & Pork barriel politics” ( demokrasi, 1/8/2024) dan tulisan lain berjudul “ASN Sebagai Mesin Elektoral Bupati 2 Periode (Democtaris. Co. Id, 4/8/2024).
Dalam tulisan berjudul “ASN Sebagai Mesin Elektoral Bupati 2 Periode” di atas ia menulis :
“Bupati Nina dengan politik Machiavelliannya, ASN (Aparatur Sipil Negara) menjadi mesin politik elektoral 2 periode. Politik Machiavellian dilakukan tidak lagi merayap. Tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak punya kemaluan lagi”, tulisnya. Sungguh tajam, “pedas” dan menohok.
Dalam teori survey “opini publik” dalam sistem politik demokratis politisasi birokrasi tidak ada jaminan apapun untuk memenangkan kontestasi politik.
Politisasi birokrasi dapat menundukkan “fisik” publik tapi tidak menjamin menundukkan pilihan politiknya di bilik bilik TPS kecuali dalam sistem politik otoritarian militeristik.
Politisasi birokrasi (ASN) hanya mempercepat “daya rusak” tata kelola pemerintahan,, sosial dan politik makin terstruktur, yaitu :
Pertama, politisasi birokrasi jelas menarik keluar institusi birokrasi dari “tupoksinya” ( tugas pokok dan fungsinya) sebagai “public service” (pelayan publik) menjadi “pesuruh politik”.
Birokrasi yang dibiayai dari pajak rakyat secara imparsial dan netral, lintas partai, golongan dan gender menjadi “partisan” dan berpihak. Ini sebuah “pengkhianatan” terhadap undang undang yang mengatur netralitas birokrasi dalam kontestasi politik.
Kedua, dalam Piramida sosial berkultur feodalistik birokasi dengan ASN dan pejabat yang berwenang mengatur di atasnya adalah “kelas terdidik” dengan jabatan baik fungsional maupun struktural adalah “teladan” bagi masyarakatnya.
Dalam konteks itu keterlibatan ASN dalam politik “partisan” dan berpihak adalah “contoh buruk”, yakni pelanggar aturan. Pilar pilar kekuatan kultur warga dalam relasi keteladanan “ambruk” dan mereka tidak layak untuk diteladani dan dihormati.
Ketiga, implikasi politiknya pilkada sebagai “jalan politik beradab” atau dalam prinsip pemilu harus “luber” (langsung, umum, bebas, rahasia) dan “jurdil” (jujur dan adil) menjadi “rusak” terstruktur, sistematis dan massif hingga ke level RT/RW
Pilkada dalam konstruksi kecurangan seperti di atas hanya akan menghasilkan pemimpin ibarat “air kotor” dari hulu yang mengalir ke pipa pipa ruang kehidupan privat rakyat, sesak dan menyesakkan.
Dalam perspektif itulah kritik O’usjh Dialambaqa dalam dua tulisannya di atas dengan ciri khasnya yang tajam dan “pedas” pointnya adalah pentingnya kita bersama merawat kontestasi pilkada sebagai jalan “politik mulia dan beradab”.
Membiarkan politisasi birokrasi menurutnya menyeret perilaku politik kita pada praktek “binatangisme politik” dan “birokrasi gentong babi” yang menjijikkan. Ini sebuah “pengkhianatan” nyata terhadap nilai luhur Pancasila, UUD 1945 dan regulasi turunannya.
Wassalam.
Editor : Zaseda
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan