Radarbangsatv.com – Perilaku pemilih selama ini terlalu “simpel” dibaca seolah olah ibarat barang “kelontongan” mudah dibeli secara “cash” atau dalam istilah lain bisa ditaklukkan secara mendadak dengan operasi “serangan fajar”.
Profesor Burhanudin Muhtadi, Guru Besar ilmu politik UIN Jakarta, Direktur eksekutif lembaga survey “Indikator Politik” menyebutnya dengan istilah “vote for sale”, suara untuk dijual.
Dalam penelitiannya tentang “politik uang” dalam skala nasional terutama di pulau Jawa Burhanudin Muhtadi menemukan fakta fakta sebagai berikut :
Pertama, pemilih yang terlibat dalam transaksi politik uang sebesar 33% dari total seluruh populasi pemilih dengan tingkat “pengaruh” memilih karena politik uang sebesar 5% hingga maksimal 10% dari total 33% pemilih yang terlibat dalam transaksi “politik uang.
Artinya, jika terdapat 1 juta pemilih ada 33% pemilih (300 ribu orang) yang terlibat dalam transaksi politik orang. Dari 300 ribu orang pemilih tersebut terdapat maksimal 10% (atau 30 ribu) pemilih memilih karena praktek “haram” pemberian “uang politik” tersebut.
Kedua, pemilih yang disasar operasi politik uang dibagi dalam dua “rumpun” pemilih dalam temuan penelitian Burhanuddin Muhtadi di atas, yakni pemilih “partisan” sebesar 15 % dan “swing voters”, pemilih mengambang 85% dari total jumlah populasi pemilih.
Pemilih “partisan”, yakni pemilih memiliki relasi kedekatan dengan partai adalah pemilih “efektif” untuk disasar dengan politik uang sementara “swing voters”, pemilih mengambang adalah pemilih yang sulit dipegang “komitmen” pilihannya meskipun telah menerima politik uang.
Paparan di atas menjelaskan bahwa operasi “politik uang” tidak mampu menaklukkan pilihan pemilih dalam jumlah besar kecuali “uang” berarti dalam konteks konsolidasi basis basis elektoral dan membranding citra “kesukaan” terhadap calon baik via “gestur” maupun issue politik.
Trend perilaku pemilih dalam “kasus” pilkada serentak 2020 mirip dengan temuan penelitian Burhanuddin Muhtadi di atas bahwa politik uang atau “jual beli suara” hanya 8% , itu pun hanya effektif dalam rumpun pemilih “partisan” sebagaimana dalam definisi pemilih yang diuraikan di atas.
Faktor “tekanan” birokrasi bisa berpengaruh sebesar 4% tetapi potensial memukul balik jika tekanannya “kasar”. Memilih karena motiv “kesamaan” afiliasi partai sebesar 27% dan faktor memilih karena motiv “kesukaan” terhadap calon sebesar 60%, terbesar dari motiv motiv pilihan yang lain.
Ringkasnya jangan membayangkan pilihan rakyat mudah ditaklukan dengan “amplop” atau ditekan secara birokratis dan ditarik tarik oleh para elite atau tokoh tertentu tanpa didahului penaklukan “suasana kebatinan’ pilihan politiknya.
Di atas segalanya tentu harus menjadi kesadaran kolektif kita bersama bahwa pilkada adalah “jalan mulia dan beradab” dalam proses seleksi kepemimpinan politik. Maka penting bagi siapa pun menjaga ‘kemuliaan” dan “keadaban” proses pilkada 2024, tidak jatuh “brutal” menjadi “binatangisme” politik
Wassalam
Editor: Zaseda
Sumber: H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan