Indramayu l Radarbangsatv.com – Pilkada serentak di seluruh Indonesia pada November 2024 adalah pesta “demokrasi” bukan pesta birokrasi ‘gentong babi’ dan “premanisasi” negara.
Belajarlah dari “kepahitan” seorang tokoh bangsa, Megawati, ketum PDIP tentang proses pilpres 2024 menurutnya “Pilpres 2024 merupakan puncak kecurangan terstruktur, sistematis dan massif”, tulisnya di harian “Kompas” (8/4/2024), tidak boleh terulang dalam pilkada serentak 2024.
Pelibatan birokrasi dalam kontestasi pilkada adalah tindakan “Uncivil state”, mengutip diksi politik Manuel Kaesipo, sosiolog politik, yakni tindakan “premanisasi bernegara”, negara dikelola dengan cara cara “preman” dan “semaunya”, merusak sendi sendi tata kelola pemerintahan yang akuntabel, adil dan beradab.
Birokrasi “haram” hukumnya ditarik keluar dari tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) sebagai pelayan publik menjadi instrument elektoral bagi Gubernur “wa bil khusus” Bupati dan walikota “incumbent” di sejumlah daerah di Indonesia. Itulah prinsip dalam UUD 1945 (amandemen 2001) dan regulasi turunannya.
Bahkan di negara negara matang secara demokrasi dan menganut “netralitas agama” pelibatan birokasi dan anggaran publik yang “disiasati” untuk kepentingan elektoral penguasa disebut “Pork Barrel Politics”, yakni politik “gentong babi”, najis, jijik, “muak” dan berwatak buas “binatangisme” politik.
Dalam studi riset “perilaku pemilih” pelibatan birokrasi dalam kontestasi politik tingkat pengaruh dan efect elektoralnya sangat kecil di era rezim politik elektoral kecuali dalam ekosistem rezim negara otoriter militeristik.
Pilihan pemilih karena “tekanan” birokratis ‘hanya” sebesar 4% dengan resiko terburuk jika tekanannya “kasar” akan mendapatkan perlawanan tak terduga dari publik di tengah transisi sosial yang terbelah antara hidup di “dunia nyata” dan tenggelam di “dunia maya”.
Rakyat secara “fisik” bisa dimobilisasi birokrasi dengan rekayasa “surat edaran” dinas/BUMD yang merusak kebebasan sipil tapi pilihan politiknya di bilik bilik TPS mayoritas mutlak digerakkan bukan oleh tekanan birokratis melainkan faktor “kesukaan” pemilih terhadap “calon” melampaui tembok tembok kekuasaan yang angkuh
Tapi memang itulah cara sejumlah birokrat “culas” sebagai instrument “cari muka” untuk mendapatkan promosi jabatan di luar sistem “meritokrasi” dan profesional. Mereka aktor politik birokrasi “gentong babi”, nihil harga diri, primitif dan jauh dari standart keadaban politik.
Pemimpin siapa pun kelak terpilih dalam kontestasi pilkada hasil produks dari keculasan politik birokrasi “gentong babi” dan aksi “premanisasi” negara bukan saja merusak harkat dan martabat pribadi dan jabatan mereka lebih dari itu daya rusaknya mengalir sampai jauh ke pipa pipa ruang kehidupan rakyat.
Pertanyaannya apakah politik kotor yang di negara negara “barat” dan “netral agama” saja dikecam sebagai politik “gentong babi” najis dan jijik akan dibiarkan begitu saja di negara “berketuhanan yang maha esa”? “Mari kita renungkan”, kata bait lagu Ebiet G. Ade.
Wassalam.
(Zaseda)
Sumber : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan