Indramayu | RadarBangsaTV.com – O’usjh Dialambaqa, pengamat kebijakan publik menuding bupati Nina Agustina dengan kritik “habis habisan” dalam tulisannya berjudul “Bupati, Marcivillian Politics, Orgerilian Politics, Post Truth Politics & Pork Barrel Politics” (media “demokrasi”, 1/8/2024), sebuah judul sangat “pedas”.
Dari judul tulisan di atas (selengkapnya baca tulisannya) jelas ia menuding bupati melakukan praktek politik “tercela” dan “tidak terpuji”, yaitu :
Pertama, “Machevillian Politics”, yakni “politik menghalalkan segala cara” mengacu pada doktrin Marciavilli, tokoh politik legendaris Italia, bahwa politik adalah merebut kekuasaan tidak ada urusan dan “persetan” dengan moralitas, etika dan agama.
Kedua, “Orgerilian Politics”, dapat dimaknai “binatangisme politik” mengacu pada tesis teoritis George Orwell penulis buku berjudul “binatangisme politik”, yakni buas “memangsa” lawan ibarat binatang buas di hutan rimba nir-hukum.
Ketiga, “Post Truth Politics”, arti harfiahnya “pasca kebenaran”. Steve Tech mendefinisikan “Post Truth Politics” adalah politik kebohongan dibungkus seolah olah fakta. Fakta “kebobrokan” dinarasikan bertubi tubi di media sebagai keberhasilan.
Keempat, “Pork Barrel Politics”, yakni “politik gentong babi”. Di negara mapan sistem demokrasinya meskipun netral “agama” penggunaan birokrasi untuk kepentingan politik elektoral dituding cara “najis”. Itulah yang disebut praktek “Pork Barrel Politics”.
Ada dua faktor minimal kenapa praktek politik yang ditudingkan O’usjh Dialambaqa terhadap bupati bisa terjadi, bahkan bersifat terstruktur, sistemik dan massif.
Pertama, birokrasi dalam sejarahnya menurut sejarawan Ongkhoan dalam bukunya “Runtuhnya Hindia Belanda” adalah pegawai pemerintah dengan watak kasta “priyayi” dalam spirit kerja melayani sang “raja”.
Birokrasi saat ini hanya modern struktur, “seragam” dan gaya hidupnya tapi mentalitas kultur primitif, mudah “menjilat” menjadi “pesuruh politik” dengan deal deal promosi jabatan di luar standart sistem “meritokrasi” atau deal deal “tercela” lainnya.
Kedua, dalam perspektif imam Al Ghazali praktek politik “kotor” di atas bisa terjadi karena lemahnya kontrol “ulama” terhadap penguasa. Ulama di sini dalam teori Harry Julian Benda mencakup di dalamnya pemuka agama, intelektual, aktivis kampus dan “kelas menengah” sosial ekonomi.
Cara cara “politik kotor” tersebut secara teoritis di era media sosial saat ini tidak menjamin kemenangan apapun. Publik dalam lintas strata sosial bisa secara tiba tiba melebur dalam satu poros perlawanan karena kesamaan terganggu ambang batas keadilannya.
Jika pun menang dalam kontestasi pilkada dengan cara “binatangisme politik” ia merusak harkat dan martabat pribadi dan jabatannya, bahkan daya rusaknya mengalir sampai jauh, ibarat “air comberan” mengalir ke pipa pipa rongga kehidupan rakyat.
Apakah politik kotor seperti ini yang hendak diwariskan sebagai “amal jariyah” bagi anak cucu kita di masa depan? Ampun gusti.
Wassalam.
Editor : Zas
Sumber : H. Adlan Daie
Analis Politik dan Keagamaan